KETAPANG (TANJUNGPURANEWS) – Aspirasi rutin senilai Rp3 miliar dan
Rp5 miliar untuk setiap Anggota DPRD justru disinyalir menjadi komoditas
politik. Hal ini adanya praktik kotor yang mengakar, yaitu jual-beli
proyek aspirasi dengan fee mencapai 15 hingga 20 persen dari nilai anggaran per
paket pekerjaan.
Bukannya sebagai penyalur aspirasi rakyat, dana pokok
pikiran (pokir) DPRD Kabupaten Ketapang yang bersumber dari APBD justru berubah
menjadi komoditas politik.
Fenomena ini bukan sekadar desas-desus. Sejumlah kontraktor
lokal, aktivis anti-korupsi, hingga mantan pejabat mengakui secara terbuka
maupun tersirat adanya praktik transaksional dalam proses distribusi dana
aspirasi.
Proyek-proyek yang bersumber dari dana pokir kerap tidak
melalui mekanisme tender terbuka, ironisnya proyek tersebut dibagi secara
penunjukan langsung (PL) kepada pihak-pihak tertentu yang bersedia merogoh
kocek atau membayar fee politik.
Seperti yang tejadi pada kasus periode 2014–2019, dimana Ketua
DPRD Ketapang saat itu, almarhum Hadi Mulyono Upas tersandung gratifikasi dan
penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana aspirasi tahun anggaran
2017–2018. Ia divonis 1,5 tahun penjara oleh pengadilan, setelah terbukti
menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengatur proyek dan menerima keuntungan pribadi
dari aliran dana pokir.
Mirisnya tidak hanya menyangkut vonis terhadap mantan Ketua
DPRD, namun yang paling mengejutkan terkait
pengakuan Hadi Mulyono Upas yang menyebut bahwa dana aspirasi miliknya itu ‘dititipkan’
oleh kepala daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan non-APBD.
Fee dari proyek aspirasi itu bahkan dilegalkan secara lisan
sebagai ‘dana kebijakan daerah’ istilah baru yang tak dikenal dalam nomenklatur
keuangan negara, namun jadi dalih pembenar praktik korupsi berjemaah.
“Ini bukan inisiatif saya. Dana itu untuk kegiatan yang
sudah dibicarakan. Saya hanya menjalankan,” kata Hadi dalam persidangan tahun
2020, sebelum akhirnya wafat beberapa tahun kemudian.
Praktik yang telah mengakar dengan persekongkolan yang
terstruktur rapih antara legislatif dan eksekutif dimuluskan saat proses pengesahan
APBD yang terjadi momen tawar-menawar antara dua kutub kekuasaan.
Dimana fraksi-fraksi di DPRD akan menyetujui RAPBD dengan
satu syarat yakni aspirasi mereka diakomodir, dan proyeknya dapat mereka kelola
secara bebas.
“Setiap tahun terjadi. DPRD kasih lampu hijau untuk APBD,
asal ada jatah pokir. Lalu, proyek dari pokir itu mereka bagikan ke kontraktor
yang siap setor. Ini simbiosis mutualisme korup,” ungkap seorang kontraktor
yang pernah terlibat dalam pengadaan PL tahun 2022 yang tidak disebutkan
namanya.
Menurutnya, jika nilai proyek PL senilai Rp200 juta, maka
kontraktor harus siap mengeluarkan ‘uang muka’ antara Rp30 hingga Rp40 juta.
“Kalau gak setor, gak dapat. Siapa cepat bayar, dia yang
dapat. Dan gak ada pengawasan berarti karena dewan yang kawal,” terangnya.
Perihal yang lebih mengejutkan lagi disinyalir
persekongkolan ini seolah ‘dibekengi’ aparat penegak hukum. Banyak pihak
percaya bahwa aparat lebih memilih memanfaatkan informasi soal praktik ini
sebagai alat sandera politik ketimbang menindaknya secara hukum.
Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Kayong, Suryadi
mengatakan, ‘pemain proyek’ di pemerintahan tidak takut dengan hukum, melainkan
dengan siapa yang pegang bukti.
“Penegak hukum tahu semua. Tapi mereka pakai itu untuk tekan
para pelaku. Bukan untuk tangkap, tapi untuk ikut main. Yang berani main, aman.
Yang gak nurut, dijerat,” terangnya.
Atas praktik yang seolah dilegalkan dengan banyak keterlibatan
banyak pihak ini, sudah barang tentu berdampak jelas pada hasil kerja dari
pembangunan yang dikerjakan. Terutama menyangkut kualitas pembangunan di
Ketapang sangat memprihatinkan.
Jalan poros antar kecamatan banyak yang rusak parah, proyek
drainase jebol hanya beberapa bulan setelah dibangun, dan sejumlah proyek
infrastruktur kecil di desa-desa nyaris tak menyentuh kebutuhan riil
masyarakat. Bukan tanpa sebab, karena dana proyek telah ‘dipotong’ sejak awal
untuk fee politik.
“Dari Rp200 juta proyek, yang benar-benar dipakai paling
Rp150 juta. Sisanya buat bayar fee, urus dokumen, setor kanan-kiri. Gimana bisa
kualitas bagus?” keluh seorang pelaksana proyek di wilayah Sandai.
Karena praktik ini disinyalir masih berjalan hingga saat
ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta turun di Kabupaten Ketapang. Pasalnya,
masyarakat Ketapang mulai gerah dengan kondisi ini. Suara-suara yang selama ini
bisu kini mulai muncul ke permukaan sehingga dapat menyelidiki pola permainan
proyek aspirasi DPRD dan menelusuri aliran dana fee ke para pejabat, baik di
legislatif maupun eksekutif.
“Sudah saatnya KPK turun. Jangan cuma nangkap kepala desa.
Ini kejahatan yang masif, rapi, dan jelas merugikan rakyat. Jalan rusak,
bangunan asal jadi, dan anggaran disedot buat kantong pribadi,” ucap Suryadi.
Ia juga menyindir para wakil rakyat yang kerap mengklaim
memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi pada kenyataannya justru menjual proyek
pembangunan kepada pihak-pihak yang bisa membayar.
“Kalau begini terus, rakyat cuma kebagian debu jalan dan
janji politik,” pungkasnya. (NAD)
Social Header